Selamat beraktifitas bagi pembaca, semoga selalu dalam keadaan sehat dan dirahmati Allah Swt.
Drama ini dibuat dengan seksama dan ditulis oleh Aida (Relawan PMI), dan diharap bisa memotivasi bagi pembaca maupun calon relawan masa depan.
Judul : Izinkan Aku Menjadi Relawan
Pengarang cerita : Aida Nafiah
Editor cerita : Rahayu Nafiah
Pengarang puisi : Rahayu Nafiah
Tokoh : (14 Orang)
1. Ana (Shinta Nuria Salwa)
2. Ayah (Amri)
3. Ibu (Indah)
4. Dokter (Uray)
5. Relawan (2 orang) (Kahirunnisa, Andika, Dinda)
6. Warga dan Anggota PMI (Warga: Sifa, Azkia, Nabila, citra, rahel.)
7. Prolog (Auri)
Alat :
1. Miniatur Batu Nisan
2. Miniatur Rumah Kardus (simulasi kebakaran)
3. Jas dokter
4. Cermin
5. Rompi PMI
6. Segelas Kopi
7. Koran
Pelengkap : Backsound Mp3
_________________
Prolog
Disuatu desa yang bernama Suka kamu, kecamatan Kamu suka, Kabupaten Yuk Ta'aruf. Hiduplah sebuah keluarga kecil yaitu Bapak Ana, Ibu Ana dan Ana.
Pagi itu,
-I-
Ayah : (duduk membaca koran) "Bu, kopi Bapak Ya"
Ibu : "Ya, Ayah. Bentar ya"
(Ana duduk didekat Bapak sambil mengerjakan PR.)
Ibu : "Gimana yah kopinya? manis?"
Ayah : "Kalo ada Ibu disini yang pahitpun terasa manis"
Ibu : (tersipu malu) "Ah bapak bisa aja" pergi ke dapur melanjutkan kerjaannya)
-II-
Ayah : "Astaghfirullah, ini pabrik tempat bapak kerja dulu terbakar lo, banyak korbannya"
Ana : (mendengar dan penasaran) "mana Yah mana, Ana mau lihat". (kemudian terfokus pada laki-laki berompi dengan lambang PMI) "Yah, ini siapa yang memakai rompi menggotong para korban?"
Ayah : "oh itu PMI yang bertugas membantu para korban bencana"
Ana : "oh jadi kalau ada kebakaran, PMI selalu membantu ya Pak?"
Ayah : "bukan hanya kebakaran, tapi semua bencana. seperti gempa, banjir, longsor juga lainnya"
Ana : "wah hebat ya Pak, Ana juga mau seperti mereka bisa membantu saudara kita yang terkena musibah"
Ibu : (mendengar percakapan Ana dan Ayahnya langsung turut campur) "Ibu gak setuju, cukup dimano badan kau nak ikut itu. nak nolong sudahnyo kau yang ditolong. nyusahkan orang. lagipula dapat apo kau nak ikut itu tu, menat-menati be"
Ana : (Hanya terdiam menunduk) (Ayah Ana memegang pundak Ana sambil tersenyum)
-III-
(Esoknya....)
(disekolah kedatangan tamu dari relawan PMI)
Relawan : "Assalamu'alaikum selamat pagi adek-adek. kami dari relawan PMI ingin mengenalkan dan mengajarkan apa itu PMI dan pentingnya PMI dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari pertolongan pertama sampai perawatan keluarga dan lain-lain. kita akan adakan latihan disekolah dan kami harapkan adek-adek bisa menghadiri dan bergabung agar kita bisa belajar sama-sama".
(begitulah seterusnya sampai jam pelajaran selesai)
Sepulang sekolah Ana terus berfikir dan mempunyai tekad untuk mengikuti latihan PMI disekolah. Namun Ana teringat akan perkataan Ibunya yang tidak mengizinkannya untuk menjadi relawan.
Ana : "Bagaimana caranya aku bilang pada Ibu agar mengizinkan untuk menjadi relawan sedangkan Ibu sudah bilang tidak setuju jika aku menjadi relawan".
(Ana pun pulang menemui Ayahnya dan menceritakan semua yang terjadi)
Ayah : "ikuti kata hatimu, Nak. Jika memang panggilan jiwamu untuk menjadi Relawan, laksanakanlah. karena itu tugas mulia. Ayah bangga padamu".
Ana : "Tapi, Yah. Ibu tidak mengizinkan aku".
Ayah : "Hehee.. soal Ibu biar Ayah yang urus".
(seketika itu Ana tersenyum bahagia karena merasa ada dukungan dari Ayahnya. kemudian Ana beranjak untuk bersantai di teras rumahnya bersama sang Ibu)
(namun tiba-tiba terjadi gempa yang meluluh lantahkan desa Aku suka. semua warga berlarian keluar rumah termasuk keluarga Ana. Namun naas Ayah Ana tertimpa reruntuhan saat menyelamatkan anak tetangganya. Ayah Ana meninggal dunia karena mengalami patah tulang yang serius dan terlambat mendapatkan penanganan.)
(Ana menangis histeris karena kehilanga sosok Ayah yang selalu mendukungnya)
Beberapa bulan kemudian....
Ana : "seandainya Aku bisa menolong Ayah waktu itu, mungkin saat ini Ayah masih duduk disampingku"
Haripun berlalu....
Tanpa sepengetahuan Ibunya, Ana rajin mengikuti PMR di Sekolah. Ana bercermin memakai rompi PMI.
Ana : "Aku sudah jadi relawan, bagaimana caranya aku bilang pada Ibu?".
Sambil megemas perlengkapan latihan, Ana beranjak ingin pergi.
Namun Suatu saat Ibu Ana curiga kenapa Ana sering pergi saat hari libur. tak seperti biasanya Ana selalu dirumah saat liburan.
Ana : "Ibu, Ana izin pergi ya".
Ibu : "Kemana, Ana".
Ana : "Kerumah teman, Bu".
Ibu : "Ibu perhatikan setiap liburan kau kerumah teman. Apa yang kau lakukan dirumah temanmu? atau jangan-jangan kau bohong pada Ibu untuk ikut latihan PMR itu ya?!. Dulu Ayah pernah bilang pada Ibu kalau kamu nekat untuk jadi relawan. Ana, Ibu hanya punya kamu. Ibu tidak ingin terjadi sesuatu padamu. lagipula dapat apa kamu mengikuti latihan seperti itu. tidak mendapatkan uang, hanya mendapat lelahnya saja".
(Ibu pergi kedapur melanjutkan pekerjaan)
(sedangkan Ana tertunduk berbicara sendiri)
Ana : " Menjadi relawan adalah pilihan, Bu. Panggilan hati. meskipun nyawa taruhannya".
-IV-
Satu bulan terjadi kebakaran di Rumah Ana yang disebabkan aliran listrik. Rumah Ana dan beberapa rumah tengganya turut terbakar. Ana berlari dan memanggil Ibunya dan mendapati Ibunya sudah lemas dan sesak karena banyak menghirup asap. para tetangga menggotong ibu Ana keluar rumah. Ana bertindak cepat memeriksa nadi Ibunya dan memberikan nafas buatan serta RJP. dengan usaha keras akhirnya Ibu Ana siuman namun masih lemah. segera para tetangga membantu membawa Ibu Ana ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan Pertolongan lanjutan.
Di Puskesmas....
Dokter : "Alhamdulillah keadaan Ibu baik-baik saja. untunglah ibu segera mendapatkan pertolongan pertama yang dilakukan oleh Anak Ibu. Jika tidak, entah apa yang terjadi pada Ibu".
Ibu : "Terimakasih, Dok".
(Ibu Ana memandang Ana dengan wajah haru)
Ibu : "Bagaimana bisa kamu melakukannya, Nak?"
Ana : "Maaf, Bu. Ana belajar dari latihan PMR yang Ana jalani setiap minggu. maafkan Ana yang tak mendengarkan kata-kata Ibu. Ana sudah kehilangan Ayah, Ana tidak ingin itu terjadi pada Ibu. Ana Sayang Ibu".
Ibu : "Maafkan Ibu, Nak. Selama ini Ibu melarangmu untuk berbuat baik". (Ibu menangis sambil memeluk Ana) "Lanjutkan langkahmu, Nak".
Tiga hari kemudian. Ana dan Ibunya ziarah ke makam ayahnya)
(setelah di makam....)
(Sambil memegang batu nisan Ayahnya, Ana menangis...)
Ana : " Ayah.. sekarang Ana sudah menjadi Relawan, Ayah bilang Ayah bangga kan?. Ibu juga sudah mendukung Ana".
(di makam tersebut Ana dan Ibunya berpelukan dengan rasa Haru yang mendalam)
SEKIAN
di akhir kisah, sesosok Ana membuat sebuah tulisan berupa perjuangannya untuk menjadi Relawan tanpa mengurangi rasa hormat pada Ibunya. isi tulisan tersebut ialah...
(dibacakan oleh Ana)
________________
Ibu..
Aku adalah seorang wanita biasa yang ingin menjadi luar biasa..
Ibu..
Aku adalah wanita lemah yang sering berbuat salah padamu..
Ibu..
Kau bilang aku tak pantas menjadi seperti mereka..
Kau bilang aku tak cukup kuat menjadi seperti mereka..
Sekarang aku ingin membuktikannya pada Ibu, kalau aku bisa..
Wanita kecilmu ini,.. ingin melakukan hal luar biasa untuk kemanusiaan.
Ibu..
Terimakasih atas izin yang kau berikan untuk aku keluar rumah meninggalkanmu, untuk mengikuti pelatihan kemanusiaan.
Ibu..
Relakan Aku,..
Latihan bersama mereka-mereka yang juga relawan kemanusiaan.
kadang aku lelah, lesu. namun semangatku dan teman-temanku sudah menjadi penyembuh untuk segalanya.
Ibu..
Ikhlaskan aku menjadi relawan..
Relakan aku berdiri dibawah panji Melati Putih..
Untuk bergabung, mengarungi, dan mengayomi.
Biarkan aku ikut serta dalam Aksi membangun solidaritas dan Totalitas untuk kemanusiaan.
karena ku teguh pada satu prinsip. Relawan tidak dibayar bukan karena tak bernilai, tetapi karena Tak Ternilai.
______________
sekian kepada pembaca dan terimakasih sudah singgah di Halaman blog ini. kami harap cerita ini bisa memotivasi agar calon relawan masa depan bisa lebih semangat dan lebih giat lagi dalam berusaha. Nama dan lokasi hanya Fiktif belaka, apabila ada yang tidak berkenan atas cerita tersebut kami mohon maaf. SEKIAN dari penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar